REVIEW BUKU
ENSIKLOPEDI PEMILU
(Ananlisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009-Agus Riewanto, S.Ag., SH., MA)
Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester semester mata kuliah Ilmu Politik
Oleh
Muchammad Imam Junaidi
3101410096
JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
Bagian Pertama: Parpol, Pemilu,
& Problem Kerterwakilan
1. Polemik
Electoral Thresold Pemilu 2004
Pemilu 1999 yang lalu adalah
contoh konkret penetapan system multi partai, yang sedikit mengganggu
legitimasi parlemen dan pemerintahan presidensiil. Dengan banyaknya parpol yang
mngikuti pemilu berdampak pada timbulnya kebingungan dikalangan masyarakat.
Untuk mengantisipasi kemungkinan muncul kebingungan rakyat atas banyaknya
parpol yang ikut pemilu, akhirnya
pemerintah melalui Mentri Dalam Negeri agar melaksanakan konsep electoral
threshold (batas ambang) yang berlaku pada pemilu 1999, yaitu batas minimal
perolehan suara bagi setiap partai politik di parlemen.
Hal
ini telah tertuang dalam RUU Pemilu, Pasal 39 ayat (3) UU 3/1999 direvisi
menjadi “Parpol peserta pemilu berikutnya adalah Parpol yang memperoleh
sekurang-kurangnya 3 persen dari jumlah kursi DPR, atau 4 persen jumlah kursi
DPRD kabupaten/kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota di seluruh
Indonesia.”
UU Pemilu ini yang mendapat
banyak penolakan parpol-parpol kecil (gurem) yang secara tidak langsung
mempersulit mereka dalam pentas pemilu di Indonesia yang akhirnya menimbulkan
banyak polemik.
2. Perlunya
Pembatasan Parpol Peserta Pemilu
Menurut
UU No. 31 tahun 2002 tentang parpol dan UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu,
tidak terdapat klausul yang menyatakan secara langsung tentang perlunya
pembatasan parpol peserta pemilu. Akan tetapi melihat tahapan dan mekanisme
yang harus dilalui oleh parpol pesrta pemilu 2004 yang amat ketat dan rumit, maka
dapat dipahami secara tersurat ini adalah pola pembatasan.
Alasan
mengapa perlu adanya pembatasan parpol peserta pemilu :
1.
Pemilu
adalah artikulasi politik masyarakat, oleh karena itu harus ada keseriusan dari
aktivis politik maupun parpol dalam keikutsertaannya dalam pemilu
2.
Pemilu
diselenggarakan dengan menggunakan dana yang tidak sedikit
3.
Pemilu
diselenggarakan untuk menjadi media bagi kontrak social antara rakyat dan
pemimpin politik
4.
Pemilu
adalah cermin bagi tegaknya demokrasi dan hukum
3. Titik
Rawan Verifikasi Parpol Pesrta Pemilu
Dalam
proses verifikasi yang dibilang panjang dan cukup rumit, ada beberapa titik
rawan yang perlu diwaspadai dalam proses
verifikasi factual tersebut : Pertama, adanya kemungkinan permainan uang (money politics) atau suap dari parpol
calon peserta pemilu kepada KPU. Kedua, kemungkinan pemanfaatan situasi oleh
pihak ketiga khususnya kepada parpol calon peserta pemilu. Ketiga, adanya
kemungkinan kecurangan yang dilakukan parpol kepada masyarakat dengan cara-cara
tertentu untuk memenuhi persyaratan jumalah dukungan Kartu Tanda Anggota (KTA)
1000 (seribu) orang atau 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk. Keempat,
potensial adanya gugatan hukum atau demonstrasi besar-besaran kepada KPU daerah
maupun KPU pusat, bila parpolnya dinyatakan gagal menjadi peserta pemilu 2004
pasca 2 Desember 2004 mendatang.
4.
Ada
Upaya Gagalkan Pemilu 2004
Banyak pengamat sosial politik dan
hukum yang berani menyimpulkan secara terang-terangan, bahwa pemilu 2004 nyaris
gagal. Adapun aneka alasan yang dijadikan barometer untuk menyimpulkan pemilu
terancam gagal, adalah sebagai berikut:
Pertama,
soal logistik pemilu, dimana hingga masa tig minggu terakhir menjelang
pelaksanaan pemilu, logistik yang diperlukan untuk memfasilitasi pelaksanaan
pemilu 2004 belum memperoleh kejelasan akan kesigapannya, baik dari sisi jumlah
maupun pendistribusian.
Kedua, belum tersedianya dana pemilu
yang memadai. Dalam hal ini yang amat merasakan pukulan adalah KPU-KPU Daerah,
terutama Kabupaten/Kota. Sebagaimana digariskan dalam pola kerja KPU, maka dana
pemilu diperoleh dari dua sumber, yaitu APBN dan APBD.
Ketiga, adanya gerakan-gerakan kotor
untuk menggagalkan pemilu yang diduga dari parpol-parpol dan orang-orang yang
kecewa dengan kinerja KPU.
Keempat, adanya gerakan skenario
menggagalkan pemilu secara sistemis :
1)
Upaya
untuk mengkampanyekan golput
2)
Gerakan
cara-cara mencoblos yang salah
5. Caleg,
Akademisi dan Kekuasaan
Setidaknya
kira-kira ada tiga alasan yang mendasari mengapa para akademisi ini tertarik
masuk ke ranah politik praktis.
Pertama, terbuai oleh manis dan lezatnya
“gizi” kekuasaan. Mungkin para akademisi ini merasa dunia akademik (kampu) lama
kelamaan membosankan dan monoton. Karena medan perjuangannya hanya berada dalam
ranah pemikir bijak yang tidak berpijak ke bumi, seolah bak bertapa di atas
angin dan di menara gading.
Kedua, fenomena lemahnyan sumber daya
manusia (SDM) yang dimiliki partai. Mungkin karena pola pengkaderan yang lamban
dan tidak meritokratis.
Ketiga, adanya sikap ovonturir di kalangan
akademisi ini. Mereka hanya ingin merasakan alias coba-coba melakukan lompatan
gaya hidup, karena melihat rekan-rekan sejawatnya yang telah lebih dulu terjun
ke panggung politik praktis pada pemilu 1999.
Bagian
Kedua: Ketika Mentalitas Rakyat Dipertanyakan
1.
DPR
Kita, Wajah Baru Muka Lama
Jika dilihat melalu fakta politik, track record anggota DPR kali ini jauh lebih baik dari sebelumnya.
Hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, komposisi usia dan juga
pengalaman. Fakta ini mestinya dapat dijadikan modal untuk mendongkrak citra
dan merombak tradisi.
Namun faktanya ini tidak dapat
diejawantahkan dalam kinerjanya. Ada beberapa analisis yang mendasari itu,
diantaranya:
Pertama,
masih tertanam kuat kultur politik di Indonesia, bahwa penentu dan kunci dari
keberhasilan berpolitik adalah di tangan segelintir pimpinan komisi, badan dan
alat kelengkapan DRP RI.
Kedua,
perseteruan memperebutkan kursi pimpinan komisi antara koalisi kebangsaan vs
koalisi kerakyatan yag tak berujung, tampak menyiratkan adanya kecurigaan dan
dendam politik yang berlebihan pada masing-masing pihak.
Ketiga,
kuatnya dorongan dan godaan syahwat kekuasaan. Hal ini dapat dibaca dari sikap
mayoritas koalisi kebangsaan yang menyapu bersih hampir semua pimpinan koalisi
pimpinan DPR RI yang berjumlah sepuluh, dan hanya sedikit menyisakan untuk
koalisi kerakyatan.
2.
Prospek
DPR, DPD, & DPRD Hasil Pemilu 2004
1. Menyangsikan
proses dan kulitas caleg
Melihat proses perekrutan caleg di semua tingkatan (Pusat
dan Daerah) dalam pemilu yang lalu, kita dapat mengukur bahwa mereka terpilih
bukan tas dasar kualifikasi terbaik diantara yang terbaik, melainkan hanyalah
terbaik di antara yang buruk (Best among the worst).
2. Problem
keterwakilan pasca pemilu
Mutu dan
legitimasi di semua tingkatan (DPR, DPD, DPRD, Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota)
mengalami problem. Karena masing-masing berdasarkan sistem pemilu (UU No.12
Tahun 2003), memilik “mutu” (kualitas) legitimasi keterwakilan yang berbeda.
3. Marginalisasi
DPD
Pertama,
dalm hal susunan keanggotaan. Kedua, dalam hal peran dan kewenangan DPD.
Ketiga, dalam hal kedudukan (eksistensi DPD). Keempat, marginalisasi DPD juga tampak dalam hal minimnya hak-hak bagi
DPD, yang tidak didapat DPD ialah wewenang dibidang pengawasan, misalnya
interplasi (bertanya), hak angket (melakukan penyelidikan), dan menyampaikan
pendapat. Kelima, dalam hal alat kelengkapan rumah tangga.
4. Pengkerdilan
DPR
Pertama,
masih munculnya regulasi kewajiban setiap anggota DPR dan DPRD membentuk wadah
fraksi di tubuh legislatif. Kedua, terlampau besarnya peran lembaga pimpinan
DPR dan fraksi dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, masih adanya
mekanisme recalling anggota DPR yang begitu mudah dilakukan oleh pimpinan
partai politik.
Bagian
Ketiga: Golput, Realitas Sang Juara
1.
Menyoal
Golput Dalam UU Pemilu
a. Alasan
pengaturan Golput
Kelahiran
pasal 142 RUU Pemilu tentang pengaturan Golput sangat gegabah, karena publik
pastilah menduga secara kasat mata, ada suatu muatan politik yang kuat dan
menunjukkan kesan, betapa pengecutnya para elit politik kita dalam berkompetisi
secara fair dalam pemilu.
b. Tolak
pengaturan Golput
Sanksi
pidana bagi pelarangan sikap Golput dalam RUU Pemilu tidak perlu diadakan,
karena persoalan Golput dalam praktek pemilu dimanapun, kapanpun saja, adalh
suatu yang alamiah dan suatu kewajaran dalam politik.
Bagian
Keempat: Menyambut Sang Fajar (Sejarah Baru Demokrasi Indonesia)
Sisi Negatif Pilpres Secara Langsung
Adapun sisi negatif diadakannya
pemilihan presiden secara langsung diantaranya: pertama, tampilnya tokoh
populer tapi tidak berkualitas. Kedua, tidak netralnya aparat dan sistem
birokrasi dalam pelayanan masysarakat. Ketiga, sikap disintegratif daerah yang
bukan pemilih yang menang. Keempat, potensi lahirnya presiden otoritarian dan sewenang-wenang.
Kelima, pilpres langsung akan cenderung dua putaran.
Bagian
Kelima: Saatnya Rakyat Bicara (Rekaman Kritis Seputar Pilkada Langsung)
1.
Desk
Pilkada & Ancaman Demokrasi
Desk Pilkada dikatakan mengancam
demokrasi dalam pilkada dapat dilihat dalam beberapa analisis berikut:
Pertama,
kewenangan yang diberikan pada pemda sangatlah besar, karena dalam salah satu
klausul Kemendagri itu, dinyatakan bahwa pemda lah bertanggungjawab terhadap
pelaksanaan Pilkada. Kedua, Desk
pilkada ini terlalu luas dan kuat pemberian kewenangan terhadap pemda dalam
pelaksanaan pilkada. Keempat,
lahirnya Desk ini adalh cerminan dari sikap pemerintah yang memiliki Syndrome
Megalomania dalam kajian psikologi politik. Kelima, lahirnya Desk pilkada ini
sesungguhnya akan dapat berpotensi melahirkan praktek politik ala Orde Baru.
2.
Empat
Syarat Pilkada Demokratis
Secara sederhana, pilkada akan dapat
dikategorikan demokratis jika telah memenuhi
4 prasysrat, diantaranya:
1)
Tersedianya aneka peraturan yang demokratis
2)
Tersedianya struktur dan infrastruktur pilkada
3)
Antusiasme publik yang cukup besar
4)
Adanya jaminan keamanan bagi publik
Bagian
Keenam: Demokrasi Kesantunan (Mewujudkan Kampanye Pilkada yang Cerdas dan
Sehat)
Mencerdaskan
Pemilih Dalam Pilkada
Menurut Chaterine Barner (2001), untuk mencerdaskan pemilih/publik dapat
dilakukan dengan pola pemberdayaan melalui tiga tahap, yakni: pertama, voters information. Pendidikan pemilih
yang hanya terarah pada informasi teknis pemilu, misalnya tata cara
pencoblosanm tempat, tanggal memilih dan syarat-syarat pemilih. Kedua, voters education, yakni pemberdayaan
melalui tahapan-tahapan filosofis, sosiologis, psikologis, serta arti penting
pemilu dan partisipasi publik dalam sisten demikrasi. Ketiga, civic education, yakni pemberdayaan publik
sebagai entitas politik dengan mempertimbangkan hak-hak asasi warga negara
dalam suatu sistem demokrasi.
Bagian
Ketujuh: Mengharap yang Terbaik (Menyongsong Pemilu 2009)
v Menggugat Ideologi Partai Politik di Indonesia
Menurut Clymer Rodee (1983) dan Reo
M. Christenson (1975), ideologi politik memiliki bermacam fungsi, antara
lain: sebagai basis legitimasi politik, penuntun kebijakan, tingkah laku
politik, membangkitkan persatuan massa dan menggerakkan untuk berbuat sesuatu.
Namun dewasa ini dapat kita lihat
fenomena yang terjadi pada penggung politik di Indonesia telah mengalami
pemiskinan ideologi yang melanda partai politik dan elite parpol.
Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.
Pragmatisme berupa politik egoisme yang mementingkan
akses ekonomi sesaat dan perebutan pengaruh kekuasaan
2.
Opurtunisme, yakni sikap politik yang terus mencari celah
dan kesempatan yang menguntungkan
Judul buku :ENSIKLOPEDI
PEMILU (Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009
Penulis : Agust Riewanto, S.Ag, SH, MA.
Penerbit : LEMBAGA STUDI AGAMA & BUDAYA
(el-SAB) dan FAJAR PUSTAKA
Tahun terbit : 2007
Kota
penerbit : Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar