BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Berbicara mengenai peristiwa Malapetaka 15 Januari
1974 atau yang biasa disebut peristiwa Malari 1974 tidak akan terlepas dari
yang namanya mahasiswa, karena peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15
dan 16 Januari 1974 di Jakarta itu berawal dengan adanya demonstrasi yang
dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan kritik dan koreksi terhadap pemerintah
Orde Baru. Aksi-aksi dan gerakan yang dilakukan mahasiswa itu berkaitan dengan
berbagai masalah diantaranya : korupsi, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah
(TMII), strategi pembangunan dan penanaman modal asing.
Drakan
mahasiswa sebenarnya tidak hanya terjadi pada tahun-tahun itu saja, namun
sebelumnya telah ada gerakan mahasiswa besar yang telah mampu menumbangkan Orde
Lama yang dikenal dengan “Angkatan 66”. Alasan mahasiswa melakukan demonstrasi
ketkia itu karena pemerintah dianggap telah banyak menghambur-hamburkan
anggaran negara dengan melakukan pembangunan Taman Mini ditengah-tengah terjadi
kesulitan ekonomi yang dialami Indonesia. Mahasiswa juga menganggap pemerintah
telah melakukan tindakan korupsi serta dominasi modal asing tidak menguntungkan
rakyat jelata.
2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang masalah ini, memunculkan
beberapa versi mengenai peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peristiwa
15 Januari 1974
Pada tahun 1973 keresahan yang terjadi di
kampus-kampus semakin meningkat dengan maraknya demonstrasi mahasiswa. Untuk
meredakannya Jendral Soemitro yang merupakan Pangkopkamtip berinisiatif untuk
mengunjungi kampus-kampus besar yang ada di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan
Yogyakarta. Soemitro selalu mengatakan tentang pola “Kepemimpinan baru” yaitu
dengan “Komunikasi Dua Arah” kepada mahasiswa. Banyak pihak yang menganggap
bahwa kedatangan dan pernyataan Soemitro di kampus-kampus itu merupakan suatu
bentuk kampanye untuk dirinya, namun menurut Soemitro sendiri kedatangannya ke
kampus-kampus karena permintaan dari presiden Soeharto (Cahyono, 1998: 115).
Suasana panas yang tercipta pada sekitar awal
Januari 1974 terjadi karena semakin meningkatnya aksi demonstrasi yang
dilakukan oleh mahasiswa untuk menentang strategi pembangunan, dominasi modal
asing terutama Jepang, korupsi, serta pembangunan Taman Mini. Aksi demonstrasi
pun semakin menyebar keberbagai daerah. Suasana semakin memanas menjelang
kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka ke Indonesia.
Pada tanggal 14 Januari 1974 mahasiswa menyambut
kedatangan PM Tanaka dengan aksi demonstrasi
di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma. Mereka menentang masuknya
modal asing yang didominasi oleh modal Jepang. Selain itu mereka juga
mengkritik tingkah laku tercela orang-orang Jepang yang ada di Indonesia.
Pada tanggal 15 Januari mahasiswa berkumpul di
kampus UI Salemba dan mengadakan Long March menuju Universitas Tri Sakti yang
berada di Grogol. Dalam demonstrasi tersebut mereka meneriakkan tuntutan mereka
yaitu yang dikenal dengan Tritura Baru 1974. Demonstrasi itu juga diikuti para
pelajar SMA. Sepanjang perjalanan para demonstran menurunkan bendera-bendera
penyambutan tamu negara menjadi setengah tiang sebagai tanda duka cita atas
kedatangan Tanaka.
B.
Berbagai
Versi Tentang Malari 1974
Sejumlah interpretasi mengenai faktor pemicu
peristiwa tersebut kemudian muncul. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya saling
berkaitan satu dengan yang lain. Versi pertama hanya memandang peristiwa Malari
sebagai demonstrasi mahasiswa Indonesia menentang penetrasi dan dominasi modal
asing yang berlebihan terutama Jepang. Veri kedua memandang terjadinya
peristiwa Malari sebagai bentuk ketidaksukaan kaum intelektual terhadap Asisten
pribadi (Aspri) Soeharto, terutama Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani yang
memiliki kekuasaan terlalu besar. Dan versi terakhir diduga karena adanya persaingan
elit militer antara Brigjen Ali Murtopo dan Jenderal Soemitro.
Versi pertama menyebut Malari hanya sebatas upaya sekelompok mahasiswa
untuk menolak dominasi bangsa asing (terutama Jepang) dalam perekonomian
Indonesia. Diantara tokoh mahasiawa yang terkenal adalah seorang aktivis yang
juga Ketua DMUI, Hariman Siregar. Dengan Malari, mahasiwa Indonesia seakan
mengingatkan Soeharto tentang lonceng kematian industri lokal seandainya produk
dan modal asing dibiarkan melenggang di pasar Indonesia. Kepala Opsus, Ali
Murtopo kemudian menuding Soemitro menunggangi protes mahasiswa untuk merebut
kekuasaan dengan jalan menginflitrasi dan memprovokasi mahasiswa untuk
melakukan tindak kekerasan.Yang kemudian masih menjadi teka-teki adalah kenapa
harus investasi Jepang yang menjadi sasaran kritik mahasiswa, bukan investasi
Amerika, Inggris atau Belanda. Padahal dari segi kuantitas, investasi negara
lain seperti Amerika Serikat misalnya, pada saat itu jauh melebihi Jepang.
Alasanya barangkali karena bentuk investasi Jepang lebih kasat mata dan menarik
perhatian. Sebagai contoh, Jepang lebih memilih investasi dalam industri
perakitan mobil dan pembangunan hotel-hotel mewah di Jakarta, sedangkan Amerika
lebih memilih aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai dan penambangan emas
di hutan-hutan Papua, jauh dari pusat kota.
Mengenai versi kedua berhubungan dengan bentrokan
antara kelompok Ali Murtopo dengan kelompok teknokrat ekonomi. Bermula dari
upaya Ali Murtopo dalam mencetuskan konsep “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi
Modernisasi Pembangunan 25 Tahun”. Konsep ini kemudian diterima Soeharto
sebagai kebijakan jangka panjang pemerintah. Ali Murtopo kecewa karena yang
terpilih sebagai pelaksana dari konsep pembangunan tersebut adalah Widjojo
Nitisastro cs. Dalam pandangan Soeharto, kelompok Widjojo lebih dipercaya
karena yang dianggapnya memiliki reputasi yang jelas dalam hal pembuatan
kebijakan ekonomi. Akan tetapi, dalam sebuah biografi Jenderal Soemitro
sebagaimana dituturkan kepada Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan
Peristiwa 15 Januari ’74, Widjojo
mengatakan bahwa dirinya tidak memperhatikan dan terpengaruh oleh adanya konsep
akselerasi modernisasi dari Ali Murtopo. Rencana pembangunan yang dibagi bagi
kedalam Repelita dan rencana anggaran tahunan (APBN) murni seratus persen
dikerjakan oleh dirinya dan beberapa ekonom di kelompoknya. Sikap Soeharto
sendiri yang mendua terhadap konsep pembangunan ekonomi pada akhirnya menyulut
divergensi dan gesekan yang kontinyu antara kelompok teknokrat ekonomi pimpinan
Widjojo dengan kelompok Ali Murtopo dengan lembaga CSIS-nya. Gesekan
kepentingan antara dua kubu itu ternyata terus meruncing dan semakin terdengar
keras gaungnya. Jenderal Soemitro dalam hal ini bertindak melindungi kelompok
teknokrat dengan alasan agar kelompok ekonom tersebut dapat menyusun dan
mengimplementasikan kebijakan ekonomi dengan baik. Atas tindakannya ini,
Jenderal Soemitro menjadi sasaran tembak Ali Murtopo.
Versi lain yang cukup dominan mengenai penyebab
kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan rivalitas elit militer yang berada di
sekeliling Presiden Soeharto, yakni Jenderal Soemitro (waktu itu menjabat
sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban,
Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin,
Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi khusus). Jenderal Soemitro menyebut
Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dengan sebutan free wheelers, yaitu orang
yang langsung dikendalikan sang pemimpin dan mempunyai akses ke mana-mana.
Mereka tidak memiliki organisasi, tetapi memiliki mandat penuh dari pimpinan
dan bisa berhubungan dengan siapa saja atas nama pimpinan. Rivalitas antara
Jenderal Sumitro dan Ali Murtopo dan sering diidentikkan dengan konflik antar
beberapa lembaga ekstra konstitusional di lingkaran kekuasaan Soeharto, yaitu
Aspri-Opsus versus Kopkamtib-Bakin. Selain sikap Soemitro yang terkesan
melindungi kelompok Widjojo, adanya rivalitas ini sebenarnya juga terkait erat
dengan ambisi Ali Murtopo untuk menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan
(baca: presiden). Mereka saling menuduh satu sama lain mengenai keinginan dan
ambisi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada masa-masa itu,
persaingan antara Soemitro dan Ali Murtopo merupakan salah satu sumber gosip
politik yang mengasyikkan dan sekaligus memprihatinkan. Menurut pengamat
militer Indonesia, Salim Said, Peristiwa Malari bukan saja merupakan huru-hara
anti-Jepang yang menyebabkan kerusakan
hebat dan korban jiwa, tetapi juga bisa dilihat sebagai konflik internal militer
yang terlemparkan ke permukaan.
Adapun korban dari peristiwa pada selasa 15 Januari 1974, paling
kurang 11 orang meninggal, 300 luka berat dan ringan, serta 775 orang ditahan.
Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak
berat. Sedikitnya 160 kg emas hilang dari sejumlah tokoh perhiasan.
BAB III
Simpulan
Versi
pertama, Malari hanya sebatas upaya sekelompok mahasiswa
untuk menolak dominasi bangsa asing (terutama Jepang) dalam perekonomian
Indonesia. Versi kedua, bentrokan
antara kelompok Ali Murtopo dengan kelompok teknokrat ekonomi. mengenai
penyebab kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan rivalitas elit militer yang
berada di sekeliling Presiden Soeharto, yakni Jenderal Soemitro (waktu itu
menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban,
Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin,
Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi khusus). Versi lain, mengenai penyebab kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan
rivalitas elit militer yang berada di sekeliling Presiden Soeharto, yakni
Jenderal Soemitro (waktu itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan
Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin, Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi
khusus).
Daftar Pustaka
Adam,
Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa.
Jakarta: Kompas Media Nusantara
Adam,
Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi
Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Ricklefs,
M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern
1200-2008. Jakarta: Serambi
Sumber Lain
Wikipedia.com
0 komentar:
Posting Komentar