BAB I
PENDAHULUAN
Pada kesempatan sebelumnya kita
telah memaparkan biografi salah seorang tokoh filsafat Islam yang cukup
berpengaruh dan mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan
di dalam dunia Islam, yaitu al-Kindi yang mempunyai nama lengkap Abu Yusuf
Ya’qub bin Ishaq As-Shabbah bin imron bin Isma’il al-Asy’ad bin Qays al-Kindi[4].
Dalam kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk memaparkan pemikiran al-Kindi
tentang epistemologi.
Namun sebelumya kita ingin
memberikan gambaran umum tentang epistemologi tersebut, epistemologi yang
merupakan nyawa dari filsafat membahas tentang seluk beluk pengetahuan manusia,
akan selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji, karena disinilah
dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang diperoleh manusia menjadi
bahan pijakan dan tentunya sangat banyak pembahasan tentang pengetahuan. Apa
yang dimaksud dengan pengetahuan? Apakah yang menjadi dasar ataupun sumber dari
pengetahuan? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang menjadi cakupan
dalam Epistemologi.
Seperti
yang telah kita ketahui bahwasannya konsep-konsep ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya
dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari epistemologi,
juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern– terpecah berbagai aliran yang
cukup banyak, seperti empirisme, rasionalisme, pragmatisme, positivisme, maupun
intuisionisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI AL-KINDI
Al-Kindi (يعقوب بن اسحاق الكندي) (lahir: 801 – wafat: 873), bisa
dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa
hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak
karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain
karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang
diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi
menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan.
Al-Kindi
berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup
di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh
besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah
mempengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang
sains dan psikologi.
Al
Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi,
astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis),
fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.
Ia
membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang diaktualkan dari
bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan demonstratif ia
anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi
dia mencoba mengambil parameter dari kategori-kategori yang ada, yang ia
kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia
sebut sebagai substansi primer.
Al
Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian
diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama
yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh
para bangsawan religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap
bid’ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar
Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks
itu.
B. RIWAYAT
HIDUP
Al-Kindi merupakan nama yang
diambil dari suku yang menjadi asal cikal bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu
Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan
Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan
banyak dikagumi orang.
Sedangkan nama lengkap Al-Kindi
adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq As-Shabbah bin imron bin Isma’il al-Asy’ad
bin Qays al-Kindi. Lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kuffah. Ayahnya Ishaq
As-Shabbah adalah gubernur Kuffah pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Harun
ar-Rasyid dari bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah al-Kindi
lahir.
Pada masa kecilnya al-Kindi sempat
merasakan masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid yang terkenal
kepeduliannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum muslim. Ilmu
pengetahuan berpusat di Baghdad yang sekaligus menjadi pusat perdagangan. Pada
masa pemerintahan ar-Rasyid sempat didirikan lembaga yang disebut bayt
al-Hikmah (Balai Ilmu Pengetahuan). pada waktu al-Kindi berusia 9 tahun
ar-Rasyid wafat dan pemerintahan diambil alih oleh putranya al-Amin yang tidak
melanjutkan usaha ayahnya ar-Rasyid untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun
setelah beliau wafat pada tahun 185 H (813 H) kemudian saudaranya al-Makmun
menggantikan kedudukannya sebagai khalifah (198-228 H) ilmu pengetahuan
berkembang pesat. Fungsi Bayt al-hikmah lebih ditingkatkan, sehingga pada masa
pemerintahan al-Makmun berhasil dipadukannya antara ilmu-ilmu keislaman dan
ilmu-ilmu asing khususnya dari Yunani. Dan pada waktu inilah al-Kindi menjadi
sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menterjemahkan
kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan dia memberi komentar terhadap
pikiran-pikiran pada filosuf Yunani.
Masa
kecil al-Kindi mendapat pendidikan di Bashrah. Tentang siapa guru-gurunya tidak
dikenal, karena tidak terekam dalam sejarah hidupnya. Setelah menyesaikan
pendidikannya di Bashrah ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, ia banyak
mengusai berbagai macam ilmu yang berkembang pada masa itu seperti ilmu
ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung, manthiq (logika), geometri,
astronomi dan lain-lain. Pendeknya ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani juga ia
pelajari dan sekurang-kurangnya salah satu bahasa ilmu pengetahuan kala itu ia
kuasai dengan baik yaitu bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani inilah Al-Kindi menterjemahkan ke dalam
bahasa Arab.
Pada
masa pemerintahan al-Mu’tashim yang menggantikan al-Makmun pada tahun 218 H
(833 M) nama al-Kindi semakin menanjak karena pada waktu itu al-Kindi dipercaya
pihak istana menjadi guru pribadi pendidik putranya yaitu Ahmad bin Mu’tashim.
Pada masa inilah al-Kindi mempunyai kesempatan untuk menulis karya-karyanya,
setelah pada masa al-Ma’mun menterjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa
Arab.
C.
KARYA-KARYA
AL-KINDI
Karya yang telah dihasilkan oleh
al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah. Ibnu Nadim, dalam kitabnya Al-Fihrits,
menyebutkan lebih dari 230 buah.[1] George N. atiyeh menyebutkan judul-judul
makalah dan kitab-kitab karangan al-Kindi sebanyak 270 buah.[2]
Dalam bidang Filsafat, karangan
al-Kindi pernah diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan judul Rosail
al-Kindi al-Falasifah (Makalah-makalah filsafat al-Kindi) yang berisi 29
makalah. Prof. Ahmad Fuad Al-Ahwani pernah menerbitkan makalah al-Kindi tentang
filsafat pertamanya dengan judul Kita al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi
al-Falsafah al-Ula (Surat al-Kindi kepada Mu’tashim Billah tentang filsafat
pertama).
Karangan-karang
al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam
memberikan batsasan-batasan makna istilah-istilah yang digunakan dalam
terminologi ilmu filsafat. Ilmu-ilmu filsafat yang ia bahas mencakup
epistemologi, metafisika, etika dan sebagainya. Sebagaimana halnya para
penganut Phytagoras, al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang
tidak bisa berfilsafat dengan baik.
Kalau dilihat dari karangannya
al-Kindi adalah penganut aliran eklektisisme.[3] Dalam metafisika dan
kosmologi ia mengambil pendapat-pendapat Aristoteles, dalam Psikologi ia
mengambil pendapat Plato, dalam bidang etika ia mengambil pendapat-pendapat
Socrates dan Plato. Namun kepribadian al-Kindi sebagai filosuf Muslim tetap
bertahan. Misalnya dalam membicarakan tentang kejadian alam al-Kidi tidak
sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu abadi, ia tetap
berpegang pada keyakinannya bahwa alam adalah ciptaan Allah, diciptakan dari
tiada dan akan berakhir menjadi tiada pula.
Sebagai seorang filosuf yang
mempelopori mempertemukan agama dengan filsafat Yunani, al-Kindi menghadapi
banyak tantangan para ahli agama. Ia dianggap telah meremehkan bahkan
membodoh-bodohi ulama’ yang tidak mengetahui filsafat Yunani. Fitnah-fitnah
yang ditujukan kepadanya semakin deras dan keras, terutama pada masa
pemirantahan Mutawakkil. Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah
semulia-mulianya ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi
kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memiliki filsafat itu.
Pernyataan ini terutama tertuju kepada ahli-ahli agama yang mengingkari
filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik, jalan menuju kekafiran dan keluar
dari agama. Menurut al-Kindi, berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan
mengorbankan keyakinan agama. Filsafat sejalan dan dapat mengabdi kepada agama.
D.
DEFINISI
FILSAFAT AL-KINDI
Al-Kindi menyajikan banyak definisi
filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi miliknya. yang
disajikan adalah definisi-definisi terdahulu, itupun tanpa mengaskan dari siapa
definisi tersebut ia peroleh. Mungkin hal ini dimaksudkan bahwa pengertian
sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada, tidak hanya pada salah
satunya. Menurut al-Kindi untuk memperoleh pengertian lengkap tentang apa
filsafat itu harus memperhatikan semua unsur yang terdapat dalam semua definisi
tentang filsafat. Definisi-definisi al-Kindi sebagai berikut :
- Filsafat
terdiri dari gabungan dua kata, Philo, Sahabat dan Sophia,
Kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta terhadap kebijaksanaan. Definisi ini
berdasar atas etimologo Yunani dari kata-kata itu.
- Filsafat
adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi
fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
- Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud
dengan mati adalah bercerainya jiwa dan badan. Atau mematikan hawa nafsu
adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak orang bijak terdahulu
yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kejahatan. Definisi juga merupakan
definisi fungsional, yang bertitik tolak pada segi tingkah laku manusia
pula.
- Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan
dan kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
- Filsafat
adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitik beratkan
pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri.
Para filosuf berpendapat bahwa manusia adalah badan, jiwa dan aksedensial
manusia yang mengetahui dirinya demikian itu berarti mengetahui segala
sesuatu. Dari sinilah para filosuf menamakan manusia sebagai mikrokosomos.
- Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu
yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun
kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya.
Dari
bebrapa definisi yang amat beragam di atas, tampaknya al-Kindi menjatuhkan pada
definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya
mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-Kindi, filosuf adalah orang yang
berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya
yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan
demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran,
tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran
itu. Filosuf sejati adalah yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan
mengaktualisasikan atau mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut
terakhir menunjukkan bahwa konsep al-Kindi tentang filsafat merupakan perpaduan
antara konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya
dengan moralita.
Al-Kindi menegaskan juga bahwa
filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya
mengetahui kebenaran yang pertama, kausa daripada semua kebenaran, yaitu
filsafat pertama. Filosuf yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki
pengetahuan tentang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa (‘illat)
lebih utama dari pengetahuan tentang akibat (ma’lul, effact). Orang akan
mengetahui tentang realitas secara sempurna jijka mengetahui pula yang menjadi
kausanya.
E.
PENGERTIAN
Secara etimologi (baca: bahasa),
epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa
Yunani, yaitu episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan,
sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik.
Dengan demikian epistemologi berarti pengetahuan sistematik mengenai
pengetahuan. Sedangkan Runes dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemologi
is the branch of philoshophy which investigates the origin, stucture, methods
and validity of knowledge. Karena itulah epistemologi sering dikenal
sebagai filsafat pengetahuan.
Jika
diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak
diselesaikan epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber
pengetahuan, asal mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran
pengetahuan.
Al-Kindi telah mengadopsi ilmu-ilmu
filsafat dari pemikiran tokoh filsafat Yunani, namun sebagai seorang filosuf
Muslim, ia mempunyai kepribadian seorang Muslim sejati yang tak tergoda dan
tetap mayakini prinsip-prinsip di dalam Islam. Al-Kindi mempunyai pandangan
tersendiri tentang pengetahuan, menurutnya pengetahuan manusia itu pada
dasarnya terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu :
- Pengetahuan
yang diperoleh dengan menggunakan indera disebut pengetahuan inderawi,
- Pengetahuan
yang diperoleh dengan menggunakan akal disebut pengetahuan rasional,
dan
- Pengetahuan
yang diperoleh langsung dari Tuhan disebut dengan pengetahuan isyraqi atau
iluminatif.
a) Pengetahuan
Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara
langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material (sentuhan,
penglihatan, pendengeran, pengcapan dan penciuman). Kemudian dalam proses yang
sangat singkat tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya, obyek-obyek yang telah
ditangkap oleh indera tersebut berpindah ke imajinasi (musyawwiroh),
kemudian diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafizhah (recolection).
Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini (Inderawi) tidak tetap dan
akan selalu berubah; karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam
keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang
kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya.
Pada dasarnya pengetahuan inderawi
ini mempunyai kelemahan yang cukup banyak, sehingga pengetahuan yang didapatkan
belum tentu benar. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain Indera terbatas,
benda yang jauh terlihat kecil berbeda ketika benda tersebut berada di dekat
kita, lalu apakah benda tersebut memang berubah menjadi kecil? tidak,
keterbatasan kemampuan indera ini dapat memberikan pengetahuan yang salah.
Kelemahan kedua adalah Indera menipu, gula yang rasanya manis akan
terasa pahit ketika dirasakan oleh orang yang sakit, begitu juga udara yang
yang panas akan terasa dingin. Sehingga hal ini akan memberikan pengetahuan
yang salah juga. Kelemahan ketiga ialah Obyek yang menipu, seperti
ilusi, fatamorgana. Di sini Indera menangkap obyek yang sebenarnya tiada.
Kelemahan keempat berasal dari indera dan obyek sekaligus, indera misalnya mata
tidak dapat melihat obyek secara keseluruhan dan begitu juga obyek yang tidak
memperlihatkan dirinya secara keseluruhan, sehingga hal ini akan memberikan
informasi pengetahuan yang salah pula.
b)
Pengetahuan
Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang
diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial dan
bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu; tetapi genus
dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua
kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan
menghasilkan pengetahuan inderawi. tetapi orang yang mengamati manusia,
menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah
makhluk berfikir (rational animal = hewan nathiq), telah memperoleh pengetahuan
rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang
telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar
yang telukis dalam perasaan.
Kelihatannya sudah cukup jelas
bahwa pengetahuan hanya terbagi menjadi dua, karena keduanya sudah saling
melengkapi, tapi ternyata hal tersebut belum cukup. Indera (empiris) dan akal
(rasio/logis) yang bekerjasama belum mampu mendapatkan pengetahuan yang lengkap
dan utuh. Indera hanya mampu mengamati bagian-bagian tertentu tentang obyek. Dibantu
oleh akal, manusia juga belum mapu memperoleh pengetahuan yang utuh. Akal hanya
sanggup memikirkan sebagian dari obyek.
Al-Kindi memperingatkan agar orang
tidak mengacaukan metode yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena
setiap ilmu mempunyai metodenya sendiri yang sesuai dengan wataknya. Watak
ilmulah yang menentukan metodenya. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan
suatu metode suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodenya
sendiri. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan metode ilmu alam untuk
metafisika.
c)
Pengetahuan
Isyraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa
pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki
tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang
genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan
pada dua macam jalan ini. Al-Kindi, sebagaiman halnya banyak filosof isyraqi,
mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi
(iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi.
Puncak dari jalan ini adalah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan
ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh
pengetahuan yang berasal dari wahyu tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah
untuk memperolehnya.
Pengetahuan mereka terjadi atas
kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya
pula jiwa meraka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Akal meyakinkan
pengetahuan pengetahuan mereka berasal dari tuhan, karena pengetahuan itu ada
ketika manusia tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang di luar
kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan
penuh ketaatan dan ketundukan mereka kepada kehendak tuhan, membenarkan semua
yang dibawakan para nabi.
Untuk memberi contoh perbedaan
pengetahuan manusia yang diperoleh dengan jalan upaya dan pengetahuan para nabi
yang diperoleh dengan jalan wahyu, Al-Kindi mengemukakan pertanyaan orang-orang
kafir tentang bagaimana mungkin tuhan akan membangkitkan kembali manusia dari
dalam kuburnya setelah tulang-belulangnya hancur menjadi tanah; sebagaimana
termaktub dalam Al-Qur’an surah Yasin ayat 78-82. Keterangan yang terdapat
dalam ayat-ayat Al-Qur’an ini amat cepat diberikan oleh nabi Muhammad saw.
karena berasal dari wahyu tuhan, dan tidak yakin akan dapat dijawab dengan
cepat dan tepat serta jelas oleh filosuf.
Pertanyaan yang diajukan pada nabi
Muhammad saw. adalah sebagai berikut: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang
yang telah membusuk? Segeralah tuhan menurunkan wahyu jawabannya: Katakanlah
yang memberinya hidup adalah penciptanya yang pertama kali yang mengetahui
segala kejadian, Dia yang menjadikan bagimu api dari kayu yang hijau, kemudian
kamu menyalakan api darinya. Tiadakah yang telah menciptakan langit dan bumi
sanggup menciptakan yang serupa itu? Tentu saja karena Dia maha Pencipta, maha
Tahu. Bila Dia menghendaki sesuatu, cukuplah Dia perintahkan, ”jadilah”, maka
iapun menjadi.
Al-Kindi memberikan penjelasannya tentang ilmu yang
berasal dari Tuhan sebagaimana dicerminkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an tersebut
sebagai berikut:
Tidak ada bukti bagi akal yang
terang dan bersih yang lebih gamblang dan ringkas daripada yang tertera dalam
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut, yaitu bahwa tulang-belulang yang benar-benar
telah terjadi setelah tiada sebelumnya, adalah sangat mungkin apabila telah
rusak dan busuk ada kembali. Mengumpulkan barang yang berserakan lebih mudah
daripada membuatnya dari tiada, meskipun bagi Tuhan tidak ada hal yang dapat
dikatakan lebih mudah ataupun lebuh sulit. Kekuatan yang telah menciptakan
mugkin menumbuhkan sesuatu yang telah dihancurkan.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa tuhan
telah menjadikan kayu hijau dan dapt dibakar menjadi api; hal ini mengandung
ajaran bahwa sesuatu mungkin bisa terjadi dari lawannya. Tuhan menjadikan api
dari bukan api dan menjadikan panas dari bukan panas. Jika sesuatu mungkin
terjadi dari lawannya, maka akan lebih mungkin lagi sesuatu terjadi dari
dirinya sendiri.
Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa
tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi berkuasa pula menciptakan yang
serupa itu, karena Dia adalah tuhan yang maha pencipta lagi maha mengetahui.
Al-Kindi menjelaskan bahwa hal tersebut dapat diyakini kebenarannya secara amat
jelas tanpa memerlukan argumentasi apapun. Orang-orang kafir mengingkari
penciptaan langit, karena mereka mengira bagaimana langit itu diciptakan,
berapa lama waktu yang diperlukan jika dibandingkan dengan perbuatan manusia
melakukan suatu pekerjaan. Sangkaan mereka itu tidak benar, tuhan tidak
memerlukan waktu jika menghendakiuntuk menciptakan sesuatu. Tuhan berkuasa
menciptakan sesuatu dari yang bukan sesuatu dan mengadakan sesuatu dari tiada.
Sesuatu ada bersamaan dengan kehendak-Nya.
Al-Kindi mengakhiri penjelasannya
tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan contoh-contoh di atas sebagai
beriku: “Tak ada manusia yang dengan filsafat manusia sanggup menerangkan
sependek huruf-huruf yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan
kepada Rasul-Nya itu, yang menerangkan bahwa tulang-belulang akan hidup setelah
membusuk dan hancur, bahwa kekuasaan tuhan seperti menciptakan langit dan bumi,
bahwa sesuatu dapat terjadi dari lawannya. Kata-kata manusia tidak sanggup
menuturkannya, kemampuan manusia tidak sanggup melakukannya; akal manusia yang
bersifat parsial tidak terbuka untuk sampai pada jawaban yang demikian itu.“
Pengetahuan Isyraqi ini, selain
didapatkan oleh para nabi. Ada kemungkinan juga didapatkan oleh orang-orang
yang beris, suci jiwanya, walaupun tingkatan atau derajatnya berada dibawah
dari pengetahuan yang dipeoleh para nabi. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan
para nabi yang diperoleh dengan wahyu lebih meyakinkan kebenarannya daripada
pengetahuan para filosuf yang tidak dari wahyu.
BAB
III
KESIMPULAN
Al-Kindi adalah seorang filosuf
Islam yang berupaya memadukan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Yunani.
Sebagai filosuf, Al-Kindi mempercayai kemampuan akal untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi pada saat yang sama ia juga
mengakui bahwa akal mempunyai keterbatasan dalam mencapai pengetahuan
metafisik. Karena itulah al-Kindi mengatakan bahwa keberadaan nabi sangat
diperlukan untuk mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang
diperoleh dari wahyu tuhan. Dari sini dapat diketahui bahwa al-Kindi tidak
sependapat dengan para filosuf Yunani dalam hal-hal yang dianggap bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang diyakininya. Contohnya menurut
al-Kindi alam berasal dari ciptaan tuhan yang semula tiada, sedangkan
Aristoteles berpendapat bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Karena
itulah al-Kindi tidak termasuk filosuf yang dikritik al-Ghozali dalam kitabnya Tahafut
Al-Falasifah (Kerancuan Para Filosuf).
Karangan-karangan Al-Kindi umumnya
berupa makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan
tulisan-tulisan al-Farobi. Namun sebagai filosuf perintis yang menempuh jalan
berbeda dari para pemikir sebelumnya, maka nama al-Kindi naik daun dan mendapat
tempat yang istimewa di kalangan filosuf sezamannya dan sesudahnya. Tentu saja
ahli-ahli pikir kontemporer yang cinta kebenaran dan kebijaksanaan akan senantiasa
merujuk kepadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Musthofa, Ahmad.
1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum, Akal dan hati
sejak Thales sampai Capra. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Tafsir, Ahmad. 2004.
Filsafat Umum, Akal dan hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya. Hal:23.
0 komentar:
Posting Komentar