Senin, 24 Maret 2014

PRESIDEN YANG TERLUPAKAN (Syafruddin Prawiranegara dan PDRI)/Sejarah Kontemporer

BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang Masalah
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia begitu panjang dan penuh liku serta perjuangan keras untuk menjadi sebuah negara dan menjadi bagian dari kehidupan dunia. Kemerdekaan dari keterkungkungan adalah harapan serta impian seluruh masyarakat Indonesia. Dengan kemerdekaan diharapkan kehidupan dari segenap elemen bangsa dapat lebih sejahtera dan terbebas dari belenggu penjajahan. Setelah sekian lama berjuang dengan mempertaruhkan jiwa raga pada akhirnya terjadilah sebuah peristiwa yang menjadi tonggak lahirnya negara Indonesia yang ditandai dengan pembacaan teks proklamasi oleh Ir. Soekarno sebagai bentuk puncak perjuangan seluruh bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Namun perjuangan tersebut tidak serta merta berhenti disaat itu saja. Setelah tiga tahun merdeka, Belanda berusaha menguasai kembali bangsa Indonesia dengan melakukan agresi-agresi militernya. Puncak dari agresi militernya yang kedua menyebabkan tertangkapnya presiden Soekarno dan Moh. Hatta di Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibu kota negara hingga terjadi kekacauan dalam pemerintahaan yang dipimpim oleh bung Karno. Dari peristriwa tersebut dilakukanlah pemindahan ibu kota negara dari Yogyakarta ke Bukittingi. Selain itu, akibat dari penangkapan beberapa pimpinan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta oleh pihak Belanda akhirnya dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittingi yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara dan disebut juga sebagai Kabinet Darurat. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) berlangsung pada periode 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949. Dibentuknya pemerintahan darurat republik Indonesia adalah sebagai bentuk eksistensi keberadaan negara Republik Indonesia.
Dari peristawa tersebut dapat dikatakan bahwa Syafruddin Prawiranegara adalah salah satu presiden dalam sejarah perjalanan bangsa. Namun banyak yang tidak tau tentang hal ini, bahkan mungkin sengaja dilupakan.


B.         Rumusan Masalah
Peran Syafruddin Prawiranegara dalam sejarah masa-masa perjuangan Republik Indonesia serta keberadaan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam memepertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

C.         Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui seberapa besar peran dari Syafruddin Prawiranegara dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A.      PDRI
Agresi Belanda memang dapat dikatakan berhasil mencapai tujuannya. Pasukan Indonesia melakukan serangan sebisa mungkin, sementara Bung Karno berusah mencari dukungan Internasional agar Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) turun tangan untuk mengatasi krisis yang diakibatkan oleh serangan pihak Belanda. 1
Setelah berbagai diplomasi dilakukan, pada 8 Desember 1947 Indonesia dan Belanda setuju untuk memulai pembicaraan damai di “tempat netral” yakni diatas transport milik angkatan laut AS, Renville yang berada di Teluk Jakarta. Selanjutnya Komisi Jasa Baik (KJB/ GOC, Good Office Comittee)pada 26 Desember mengajukan suatu proposal yang kemudian dikenal sebagai “Pesan Natal”. Proposal tersebut menyerukan : (a) diadakan gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut dengan “Garis van Mook”; (b) ditariknya pasukan Belanda dari wilayah- wilayah yang dikuasi sejak dilakukannya “aksi polisional” pada bulan Juli 1947; dan (c) dipulihkannya pemerintahan RI di wilayah- wilayah yang baru direbut. Perjanjian Renville memang banyak ditentang oleh banyak pihak. Kampanye untuk menolak perjanjian Renville dan sentimen terhadap Belanda itu sendiri telah meluas di kalangan rakyat. Sementara hasil perundingan Renville itu sendiri juga tidak berjalan dengan baik, terutama pihak Belanda terus saja melanggar ketetapan- ketetapan yang ada di dalamnya. 2
Dalam perundingan dengan pihak Indonesia, Belanda mulai mengajukan tuntutan- tuntutan ekstrim, yang tentu saja akan ditolak pihak Indonesia. Diantaranya adalah pembubaran TNI dan pembentukan Angkatan Perang Negara Indonesia Serikat dengan basis tentara KNIL. Dengan cara seperti ini, Belanda melakukan rekayasa sehingga perundingan Belanda dengan Indonesia berlangsung di kaliurang dan di fasilitasi oleh KTN (Komisi Tiga Negara) mengalami kebuntuan. 3
1 Nurani Soyomukti, Soekarno dan Nasakom, (Yogyakarta: Garasi, 2008), hlm. 122.
2 Ibid., hlm. 123
3 Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 300.
Selain itu, wakil Gubernur jenderal Beel mengumumkan akan segera membentuk pemerintahan interim, yang disebut Pemerintah Peralihan di Indonesia (Bewindvoering Indonesie in Overgangstijd- BIO). Tanggal 11 Desember, Beel menyatakan bahwa Belanda tidak bersedia melanjutkan perundingan dan memaksa pimpinan Indonesia untuk menjadi anggota pemerintahan interim. Jelas, penrnyataan itu mendapat penolakan dari pemimpin Indonesia. Pada hari yang sama, pimpinan militer Indonesia menerima laporan bahwa tentara belanda sedang mengadakan konsentrasi besar- besaran di garis demarkasi. Untuk menantisipasi serangan Belanda, pimpinan TNI merencanakan akan mengadakan latihan perang pada 19 Desember 1948.
Pada 11 Desember 1948, Belanda menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan perundingan dengan pihak Indonesia. Tanggal 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya BIO yang rencananya hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor Federaale Overleg- BFO (Musyawarah Negara Federal), tanpa keikutsertaan Indonesia. 4
Keterlibatan Pasukan Siliwangi dalam menumpas “Pemberontakan Muso” di Madiun membuat kekuatan pertahanan Indonesia di Ibukota Yogyakarta dengan sendirinya melemah bahkan sebagian kekuatan militer Divisi I (Jawa Timur) dan Divisi II( Jawa Tengah bagian timur) juga dikerahkan ke Madiun. Memang telah diperkirakan bahwa Belanda akan memanfaatkan situasi tersebut, dan ternyata terbukti. Akan tetapi, hal itu tidak mengejutkan pimpinan TNI karena jauh sebelumnya sudah diantisipasi dengan melakukan persiapan yang matang.
Belakangan justru Belanda yang mengakhiri kesepakatan Renville ketika mereka menyatakan pembatalan perjanjian gencatan sejata pada 18 Desember 1948. Keesokan harinya tanggal 19 Desember 1948 pagi hari, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi oleh persetujuan Renville. Belanda kembali melancarkan aksi sepihak, menyerang lokasi- lokasi strategis RI. Penyerbuan terhadap semua wilayah Indonesia di Jawa dan Sumatra termasuk ibukaota di Yogyakarta telah dimulai. Dan mulailah apa yang dikenal dengan “Agresi Militer II”.
 


4 Ibid., hlm. 331.
Belanda konsisten dengan menanamkan agresi militernya ini sebagai “Aksi polisional” meskipun yang dikirim bukanlah polisi, melainkan pasukan elite tempur angkatan darat dan udara. 5
Serangan terhadap ibukaota diawali oleh pemboman atas lapangan terbang Maguwo pada Pagi hari pukul 05:45, disertai tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 peswat Kittyhawk. Pukul 06:45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran memperubutkan Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7:10, Bandara Maguwo sudah jatuh sepenuhnya ke tangan pasukan Kapten Eekhout. 6
Sesuai rencana yang dipersiapkan Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra, presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran) yang berada di Bukittinggi. Isi surat kuasa tersebut ialah apabila dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, Presiden dan wakil Presiden menguasakan kepasa Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah darurat di Sumatra. 7
Pukul 15:00 seluruh Kota Yogyakarta telah dikuasai tentara Belanda. Mereka menangkap hampir seluruh pimpinan sipil Indonesia, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Empat Menteri yang berada di luar kota Yogyakarta tidak ikut tertangkap. Mereka belum mengetahui sidang kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah darurat di Bukittinggi.
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian sebagian besar pimpinan pemerintahan Indonesia, tanggal 19 Desember di sore hari Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama kol. Hidayat, Panglima Tentara dan Tertorium Sumatra, mengunjungi Mr. T.Mohammad Hassan, Ketua komisaris Pemerintah Pusat, di kediamannya untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga, mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh di Selatan Kota Pakayumbuh.8
 


5 Ibid., hlm. 333.
6 Ibid., hlm. 334
7 Ibid., hlm. 341
8 Ibid., hlm. 344

Di Sumatra Barat, tentara Belanda menduduki Kota Padang Panjang pada 21 Desember 1948, dan sehari kemudian masuk ke Bukittinggi. Sejumlah tokoh pimpinan Indonesia yang ada di Sumatra Barat berkumpul di Halaban. Tanggal 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T.M. Hassan, Mr. St.M. Rasyid, kol. Hidayat, Mr. Lukaman Hakim, Ir. Indracaya, Ir. Mananti Sitompul,  Maryono Danubroto, Direktur BNI Mr. A. Karim. Rusli Rahim, dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi surat kawat Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948 sesuai dengan konsep yang telah disiapkan rapat memutuskan untuk membentuk PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia). Secara De Facto Mr. Syafrudin Prawiranegara adalah kepala pemerintahan Indonesia. 9
Setelah berita mengenai agresi Belanda (19 Desember 1949) disiarkan diseluruh dunia kritik dan kecaman disampaikan oleh negara-negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan, tanggal 20 Desember, sehari setelah agresi, DK PBB segera melakukan sidang di Lake Success, dan dilanjutkan pada 22 Desember di Paris, yang juga dihadiri oleh utusan KTN (Komisi Tiga Negar) yang datang dari Indonesia dan menyampaikan laporannya. Pada sidang tersebut, Uni Soviet mengusulkan agar Belanda secara resmi dicap sebagai aggressor. Akan tetapi, usul itu ditolak oleh dewan sidang. DK PBB menerima usul Amerika Serikat, Syria, dan Kolombia, yaitu agar aksi saling tembak segera dihentikan, dan rakyat Indonesia yang ditahan Belanda segera dibebaskan. 10
Aksi boikot terhadap Belanda dilancarkan oleh banyak negara. Selang dua hari (21 Desember 1948) setelah agresi militer Belanda, pemerintah Sri Langka menutup semua pelabuhan dan Bandar udaranya untuk kapal dan pesawat terbang Belanda yang yang mengangkut senjata dan personil militer ke Indonesia. Dua hari berikutnya, pemerintah India dan Pakistan mengambil langkah yang lebih keras, yaitu melarang semua pesawat KLM terbang di atas wilayah atau mendarat di bandar udara kedua negara tersebut.11
 


9    Ibid., hlm. 347
10 Ibid., hlm. 353
11 LKS SMP Kelas IX., hlm. 24.
Tanggal 31 Desember 1948, Serikat Pelaut Australia dan Serikat Buruh Pelabuhan Australia memboikot kapal-kapal Belanda akan berlayar ke Indonesia. Awal Januari 1949, pemerintah Irak sebagai reaksi atas agresi Belanda juga melarang pasukan KLM Belanda mendarat di wilayahnya. Aksi serupa juga dilakukan oleh Birma, Sri Langka, India, Pakistan, Arab Saudi, yang tidak memberikan fasilitas pengangkutan darat, laut, dan udara kepada Belanda.12
Sejak adanya pengaduan Indonesia terhadap Belanda dan Belanda telah menyerang Indonesia, maka DK PBB mengeluarkan resolusi. Resolusi DK PBB antara lain yaitu:
1.      Menyerukan pada pemerintah Belanda supaya menghentikan segala tindakan militer dengan segera.
2.      Menyerukan pada pemerintah Belanda supaya membebaskan dengan segera dan tanpa syarat apapun juga semua tawanan politik yang ditawan olehnya sejak 19 Desember 1948 dalam Indonesia, dan mempermudah kembalinya dengan segera pejabat-pejabat pemerintah Indonesia ke Yogyakarta.
3.      Menganjurkan, supaya mengingat pentingnya terwujud tujuan dan keinginan kedua belah pihak untuk mendirikan suatu Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat yang berbentuk federal dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, utusan pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia selekas mungkin mengadakan perundingan.
4.      Komisi Jasa Baik selanjutnya akan disebut komisi perserikatan bangsa-bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia- UNCI).
 


12 Ibid., hlm. 354
B.       SERANGAN UMUM 1 MARET 1949
Sebelum melancarkan serangan secara besar-besaran di Yogyakarta para pemimpin Indonesia telah melakukan rapat W. Hutagalung menyampaikan gagasannya dalam rapat tersebut, gagasan tersebut disebut sebagai “grand desain”.setelah dilakukan pembahasan yang mendalam “grand desain” tersebut akhirnya disetujui.
Inti dari gagasan Hutagalung adalah sebgai berikut:
1.      Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreis I, II, III,
2.      Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah gubernur militer,
3.      Mengadakan serangan spektakuler 13  terhadap suatu kota besar di wilayah Divisi III,
4.      Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
5.      Serangan tersebut harus diketahui dunia Internasional.

Setelah mengadakan rapat dan dianggap telah siap melakukan penyerangan secara besar-besaran maka diputuskanlah bahwa serangan tersebut akan dilancarkan pada 1 Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak terkait.
Pada tanggal 1 Maret 1949, serangan besar-besaran dilakukan secara serentak diseluruh wilayah Divisi III/GM III. Fokus serangan adalah ibukota Indonesia Yogyakarta, dan kota-kota disekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai instruksi rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III kolonel Bambang Sugeng kepada komandan Wehrkreis I, letkol Bahrun, dan komandan Wehrkreis II letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan diwilayah Divisi II/GM II dengan fokus penyerangan terhadap kota Solo untuk menahan tentara Belanda tetap dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.14
Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran berhasil menahan tentara Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuannya ke Yogyakarta yang sedang
13 T. B. Simatupang, Laporan Dari Banaran, (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), hlm. 60.
14  Batara R. Hutagalung, Serangan Umum 1 Maret 1949, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 453.
diseranng besar-besaran oleh pasukan Brigadir X yang diperkuat dengan satu Batalion dari Brigadir IX. Sedangkan terhadap pertahan Belanda di Magelang dan penghadangan dijalur Magelang-Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigadir IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan pasukan Indonesia, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Serangan terhadap Yogyakarta, korban dipihak Indonesia adalah 300 prajurit dan 53 anggota polisi tewas. Sedangkan rakyat yang tewas tidak dapat dihitung. Menurut De Wappen Broeder (sebuah majalah Belanda), edisi Maret 1949, korban dipihak Belanda selama Maret 1949 tercatat 200 orang (tewas dan luka-luka).
Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi, menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, tentang serangan “besra-besaran” Tentara Nasional Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi headline di berbagai media cetak di India. Hal ini diungkapkan oleh MR. Maramis kepada dr. W. Hutagalung  ketika bertemu tahun 1950-an di Pulo Mas, Jakarta.


BAB III
SIMPULAN
Dari rentetan peristiwa yang telah dipaparkan dalam pembahasan makalah ini tidak dapat dipungkiri bahwa Syafruddin Prawiranegara mempunyai jasa yang cukup besar dalam perannya memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ketika terjadi Agresi Militer Belanda II yang menyerang ibu kota negara Yogyakarta serta penangkapan beberapa pemimpin Republik Indonesia. PDRI menjadi motor penggerak perjuangan, semenjak Belanda menduduki Yogyakarta.
Selain itu, dampak dari agresi militer Belanda II ini mengakibatkan pecahnya pertempuran antara pasukan militer Indonesia dengan pasukan militer Belanda yang biasa disebut SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 di Yogyakarta dan sekitarnya. Dari pertempuran itu tidak sedikit korban berjatuhan baik dari pihak Indonesia maupun dari pihak Belanda. Adapun korban dari pihak Indonesia adalah 300 prajurit dan 53 anggota polisi tewas. Sedangkan rakyat yang tewas tidak dapat dihitung. Menurut De Wappen Broeder (sebuah majalah Belanda), edisi Maret 1949, korban dipihak Belanda selama Maret 1949 tercatat 200 orang (tewas dan luka-luka)


0 komentar:

Posting Komentar