BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia begitu panjang dan
penuh liku serta perjuangan keras untuk menjadi sebuah negara dan menjadi
bagian dari kehidupan dunia. Kemerdekaan dari keterkungkungan adalah harapan serta impian seluruh
masyarakat Indonesia. Dengan kemerdekaan diharapkan kehidupan dari segenap
elemen bangsa dapat lebih sejahtera dan terbebas dari belenggu penjajahan.
Setelah sekian lama berjuang dengan mempertaruhkan jiwa raga pada akhirnya terjadilah sebuah peristiwa yang menjadi tonggak
lahirnya negara Indonesia yang ditandai dengan pembacaan teks proklamasi oleh
Ir. Soekarno sebagai bentuk puncak perjuangan seluruh bangsa Indonesia dalam
merebut kemerdekaan.
Namun perjuangan tersebut tidak serta merta berhenti
disaat itu saja. Setelah tiga tahun merdeka, Belanda berusaha menguasai kembali
bangsa Indonesia dengan melakukan agresi-agresi militernya. Puncak dari agresi
militernya yang kedua menyebabkan tertangkapnya presiden Soekarno dan Moh.
Hatta di Yogyakarta yang pada waktu itu menjadi ibu kota negara hingga terjadi
kekacauan dalam pemerintahaan yang dipimpim oleh bung Karno. Dari peristriwa
tersebut dilakukanlah pemindahan ibu kota negara dari Yogyakarta ke Bukittingi.
Selain itu, akibat dari penangkapan beberapa pimpinan pemerintahan Republik
Indonesia di Yogyakarta oleh pihak Belanda akhirnya dibentuklah Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittingi yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara
dan disebut juga sebagai Kabinet Darurat. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) berlangsung pada periode 22
Desember 1948
- 13 Juli
1949.
Dibentuknya pemerintahan darurat republik Indonesia adalah sebagai bentuk
eksistensi keberadaan negara Republik Indonesia.
Dari
peristawa tersebut dapat dikatakan bahwa Syafruddin Prawiranegara
adalah salah satu presiden dalam sejarah perjalanan bangsa. Namun banyak yang
tidak tau tentang hal ini, bahkan mungkin sengaja dilupakan.
B.
Rumusan Masalah
Peran
Syafruddin Prawiranegara
dalam sejarah masa-masa perjuangan Republik Indonesia serta keberadaan
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam memepertahankan kemerdekaan
Republik Indonesia.
C.
Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui seberapa besar peran dari Syafruddin Prawiranegara dalam perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PDRI
Agresi Belanda memang dapat
dikatakan berhasil
mencapai tujuannya. Pasukan Indonesia melakukan serangan sebisa mungkin,
sementara Bung Karno berusah mencari dukungan Internasional agar Perserikatan
Bangsa- Bangsa (PBB) turun tangan untuk mengatasi krisis yang diakibatkan oleh
serangan pihak Belanda. 1
Setelah berbagai diplomasi
dilakukan, pada 8 Desember 1947 Indonesia dan Belanda setuju untuk memulai
pembicaraan damai di “tempat netral” yakni diatas transport milik angkatan laut
AS, Renville yang berada di Teluk Jakarta. Selanjutnya Komisi Jasa Baik (KJB/
GOC, Good Office Comittee)pada 26 Desember mengajukan suatu proposal yang
kemudian dikenal sebagai “Pesan Natal”. Proposal tersebut menyerukan : (a)
diadakan gencatan senjata di sepanjang apa yang disebut dengan “Garis van
Mook”; (b) ditariknya pasukan Belanda dari wilayah- wilayah yang dikuasi sejak
dilakukannya “aksi polisional” pada bulan Juli 1947; dan (c) dipulihkannya
pemerintahan RI di wilayah- wilayah yang baru direbut. Perjanjian Renville
memang banyak ditentang oleh banyak pihak. Kampanye untuk menolak perjanjian
Renville dan sentimen terhadap Belanda itu sendiri telah meluas di kalangan
rakyat. Sementara hasil perundingan Renville itu sendiri juga tidak berjalan
dengan baik, terutama pihak
Belanda terus saja melanggar ketetapan- ketetapan yang ada di dalamnya. 2
Dalam perundingan
dengan pihak Indonesia, Belanda mulai
mengajukan tuntutan- tuntutan ekstrim, yang tentu saja akan ditolak pihak
Indonesia. Diantaranya adalah pembubaran TNI dan pembentukan Angkatan Perang
Negara Indonesia Serikat dengan basis tentara KNIL. Dengan cara seperti ini,
Belanda melakukan rekayasa sehingga perundingan Belanda dengan Indonesia
berlangsung di kaliurang dan di fasilitasi oleh KTN (Komisi Tiga Negara)
mengalami kebuntuan. 3
1 Nurani
Soyomukti, Soekarno dan Nasakom,
(Yogyakarta: Garasi, 2008), hlm. 122.
2 Ibid., hlm. 123
Pada 11 Desember 1948, Belanda
menyatakan tidak bersedia lagi melanjutkan perundingan dengan pihak Indonesia.
Tanggal 13 Desember 1948, Belanda mengumumkan berdirinya BIO yang rencananya
hanya terdiri dari negara- negara boneka, yang tergabung dalam Bijeenkomst voor
Federaale Overleg- BFO (Musyawarah Negara Federal), tanpa keikutsertaan
Indonesia. 4
Keterlibatan Pasukan Siliwangi
dalam menumpas “Pemberontakan Muso” di Madiun membuat kekuatan pertahanan
Indonesia di Ibukota Yogyakarta dengan sendirinya melemah bahkan sebagian
kekuatan militer Divisi I (Jawa Timur) dan Divisi II( Jawa Tengah bagian timur)
juga dikerahkan ke Madiun. Memang telah diperkirakan bahwa Belanda akan
memanfaatkan situasi tersebut, dan ternyata terbukti. Akan tetapi, hal itu
tidak mengejutkan pimpinan TNI karena jauh sebelumnya sudah diantisipasi dengan
melakukan persiapan yang matang.
Belakangan justru Belanda yang
mengakhiri kesepakatan Renville ketika mereka menyatakan pembatalan perjanjian
gencatan sejata pada 18 Desember 1948. Keesokan harinya tanggal 19 Desember
1948 pagi hari, WTM Beel berpidato di radio
dan menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi oleh persetujuan Renville.
Belanda kembali melancarkan aksi sepihak, menyerang lokasi- lokasi strategis
RI. Penyerbuan terhadap semua wilayah Indonesia di Jawa dan Sumatra termasuk
ibukaota di Yogyakarta telah dimulai. Dan mulailah apa yang dikenal dengan
“Agresi Militer II”.
4 Ibid.,
hlm. 331.
Belanda
konsisten dengan menanamkan agresi militernya ini sebagai “Aksi polisional”
meskipun yang dikirim bukanlah polisi, melainkan pasukan elite tempur angkatan
darat dan udara. 5
Serangan terhadap ibukaota diawali
oleh pemboman atas lapangan terbang Maguwo pada Pagi hari pukul 05:45,
disertai tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 peswat Kittyhawk.
Pukul 06:45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo.
Pertempuran memperubutkan Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul
7:10, Bandara Maguwo sudah jatuh sepenuhnya ke tangan pasukan Kapten Eekhout. 6
Sesuai rencana yang dipersiapkan
Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatra,
presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta membuat surat kuasa yang ditujukan
kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran) yang berada di
Bukittinggi. Isi surat kuasa tersebut ialah apabila dalam keadaan pemerintah
tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, Presiden dan wakil Presiden
menguasakan kepasa Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah
darurat di Sumatra. 7
Pukul 15:00 seluruh Kota Yogyakarta
telah dikuasai tentara Belanda. Mereka menangkap hampir seluruh pimpinan sipil
Indonesia, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Empat
Menteri yang berada di luar kota Yogyakarta tidak ikut tertangkap. Mereka belum
mengetahui sidang kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian
mandat kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintah darurat
di Bukittinggi.
Mendengar berita bahwa tentara
Belanda telah menduduki ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian sebagian besar pimpinan pemerintahan Indonesia, tanggal 19 Desember di sore hari
Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama kol. Hidayat, Panglima Tentara dan
Tertorium Sumatra, mengunjungi Mr. T.Mohammad Hassan, Ketua komisaris
Pemerintah Pusat, di kediamannya untuk mengadakan perundingan. Malam itu juga, mereka
meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, perkebunan teh di Selatan Kota
Pakayumbuh.8
5 Ibid., hlm. 333.
6 Ibid., hlm. 334
7 Ibid., hlm. 341
8 Ibid., hlm. 344
Di Sumatra Barat, tentara Belanda
menduduki Kota Padang Panjang pada 21 Desember 1948, dan sehari kemudian masuk
ke Bukittinggi. Sejumlah tokoh pimpinan Indonesia yang ada di Sumatra Barat
berkumpul di Halaban. Tanggal 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang
dihadiri antara lain oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T.M. Hassan, Mr.
St.M. Rasyid, kol. Hidayat, Mr. Lukaman Hakim, Ir. Indracaya, Ir. Mananti
Sitompul, Maryono Danubroto, Direktur
BNI Mr. A. Karim. Rusli Rahim, dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi surat kawat
Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948 sesuai dengan konsep
yang telah disiapkan rapat memutuskan untuk membentuk PDRI (Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia). Secara De Facto Mr. Syafrudin Prawiranegara adalah
kepala pemerintahan Indonesia.
9
Setelah berita mengenai agresi
Belanda (19 Desember 1949) disiarkan diseluruh dunia kritik dan kecaman
disampaikan oleh negara-negara terhadap pemerintah Belanda. Bahkan, tanggal 20
Desember, sehari setelah agresi, DK PBB segera melakukan sidang di Lake
Success, dan dilanjutkan pada 22 Desember di Paris, yang juga dihadiri oleh
utusan KTN (Komisi Tiga Negar) yang datang dari Indonesia dan menyampaikan
laporannya. Pada sidang tersebut, Uni Soviet mengusulkan agar Belanda secara
resmi dicap sebagai aggressor. Akan tetapi, usul itu ditolak oleh dewan sidang.
DK PBB menerima usul Amerika Serikat, Syria, dan Kolombia, yaitu agar aksi
saling tembak segera dihentikan, dan rakyat Indonesia yang ditahan Belanda
segera dibebaskan. 10
Aksi boikot
terhadap Belanda dilancarkan oleh banyak negara. Selang dua hari (21 Desember
1948) setelah agresi militer Belanda, pemerintah Sri Langka menutup semua
pelabuhan dan Bandar udaranya untuk kapal dan pesawat terbang Belanda yang yang
mengangkut senjata dan personil militer ke Indonesia. Dua hari berikutnya,
pemerintah India dan Pakistan mengambil langkah yang lebih keras, yaitu
melarang semua pesawat KLM terbang di atas wilayah atau mendarat di bandar
udara kedua negara tersebut.11
9 Ibid., hlm. 347
10 Ibid., hlm. 353
11 LKS SMP Kelas
IX., hlm. 24.
Tanggal 31
Desember 1948, Serikat Pelaut Australia dan Serikat Buruh Pelabuhan Australia
memboikot kapal-kapal Belanda akan berlayar ke Indonesia. Awal Januari 1949,
pemerintah Irak sebagai reaksi atas agresi Belanda juga melarang pasukan KLM
Belanda mendarat di wilayahnya. Aksi serupa juga dilakukan oleh Birma, Sri
Langka, India, Pakistan, Arab Saudi, yang tidak memberikan fasilitas
pengangkutan darat, laut, dan udara kepada Belanda.12
Sejak adanya
pengaduan Indonesia terhadap Belanda dan Belanda telah menyerang Indonesia,
maka DK PBB mengeluarkan resolusi. Resolusi DK PBB antara lain yaitu:
1. Menyerukan
pada pemerintah Belanda supaya menghentikan segala tindakan militer dengan
segera.
2. Menyerukan
pada pemerintah Belanda supaya membebaskan dengan segera dan tanpa syarat
apapun juga semua tawanan politik yang ditawan olehnya sejak 19 Desember 1948
dalam Indonesia, dan mempermudah kembalinya dengan segera pejabat-pejabat
pemerintah Indonesia ke Yogyakarta.
3. Menganjurkan,
supaya mengingat
pentingnya terwujud tujuan dan keinginan kedua belah pihak untuk mendirikan suatu
Negara Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat yang berbentuk federal
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, utusan pemerintah Belanda dan pemerintah
Indonesia selekas mungkin mengadakan perundingan.
4. Komisi
Jasa Baik selanjutnya akan
disebut komisi perserikatan bangsa-bangsa untuk Indonesia (United Nations
Commission for Indonesia- UNCI).
12 Ibid.,
hlm. 354
B.
SERANGAN
UMUM 1 MARET 1949
Sebelum melancarkan serangan secara
besar-besaran di Yogyakarta para pemimpin Indonesia telah melakukan rapat W.
Hutagalung menyampaikan gagasannya dalam rapat tersebut, gagasan tersebut
disebut sebagai “grand desain”.setelah dilakukan pembahasan yang mendalam
“grand desain” tersebut akhirnya disetujui.
Inti dari
gagasan Hutagalung adalah sebgai berikut:
1.
Serangan
dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan
Wehrkreis I, II, III,
2.
Mengerahkan
seluruh potensi militer dan sipil di bawah gubernur militer,
3.
Mengadakan
serangan spektakuler 13 terhadap suatu kota besar di wilayah Divisi III,
4.
Harus
berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
5.
Serangan
tersebut harus diketahui dunia Internasional.
Setelah
mengadakan rapat dan dianggap telah siap melakukan penyerangan secara
besar-besaran maka diputuskanlah bahwa serangan tersebut akan dilancarkan pada
1 Maret 1949, pukul 06.00. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak terkait.
Pada tanggal 1 Maret 1949, serangan
besar-besaran dilakukan secara serentak diseluruh wilayah Divisi III/GM III.
Fokus serangan adalah ibukota Indonesia Yogyakarta, dan kota-kota disekitar
Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai instruksi rahasia yang
dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III kolonel Bambang Sugeng kepada
komandan Wehrkreis I, letkol Bahrun, dan komandan Wehrkreis II letkol Sarbini.
Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan diwilayah Divisi II/GM II
dengan fokus penyerangan terhadap kota Solo untuk menahan tentara Belanda tetap
dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.14
Serangan terhadap kota
Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran berhasil menahan tentara Belanda
di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuannya ke Yogyakarta yang sedang
13 T. B. Simatupang,
Laporan Dari Banaran, (Jakarta: Sinar
Harapan, 1980), hlm. 60.
14 Batara R. Hutagalung, Serangan
Umum 1 Maret 1949, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 453.
diseranng
besar-besaran oleh pasukan
Brigadir X yang diperkuat dengan satu Batalion dari Brigadir IX. Sedangkan
terhadap pertahan Belanda di Magelang dan penghadangan dijalur
Magelang-Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigadir IX, hanya dapat memperlambat
gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari
Magelang dapat menerobos hadangan pasukan Indonesia, dan sampai di Yogyakarta
sekitar pukul 11.00.
Serangan terhadap Yogyakarta,
korban dipihak Indonesia adalah 300 prajurit dan 53 anggota polisi tewas.
Sedangkan rakyat yang tewas tidak dapat dihitung. Menurut De Wappen Broeder
(sebuah majalah Belanda), edisi Maret 1949, korban dipihak Belanda selama Maret
1949 tercatat 200 orang (tewas dan luka-luka).
Mr. Alexander Andries Maramis, yang
berkedudukan di New Delhi, menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar
siaran radio yang ditangkap dari Burma, tentang serangan “besra-besaran”
Tentara Nasional Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi headline
di berbagai media cetak di India. Hal ini diungkapkan oleh MR. Maramis kepada
dr. W. Hutagalung ketika bertemu tahun
1950-an di Pulo Mas, Jakarta.
BAB
III
SIMPULAN
Dari
rentetan peristiwa yang telah dipaparkan dalam pembahasan makalah ini tidak
dapat dipungkiri bahwa Syafruddin Prawiranegara mempunyai jasa yang cukup besar
dalam perannya memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ketika terjadi
Agresi Militer Belanda II yang menyerang ibu kota negara Yogyakarta serta
penangkapan beberapa pemimpin Republik Indonesia. PDRI menjadi motor penggerak
perjuangan, semenjak Belanda menduduki Yogyakarta.
Selain itu, dampak dari agresi
militer Belanda II ini mengakibatkan pecahnya pertempuran antara pasukan
militer Indonesia dengan pasukan militer Belanda yang biasa disebut SERANGAN
UMUM 1 MARET 1949 di Yogyakarta dan sekitarnya. Dari pertempuran itu tidak
sedikit korban berjatuhan baik dari pihak Indonesia maupun dari pihak Belanda.
Adapun korban dari pihak Indonesia adalah 300 prajurit dan 53 anggota polisi
tewas. Sedangkan rakyat yang tewas tidak dapat dihitung. Menurut De Wappen
Broeder (sebuah majalah Belanda), edisi Maret 1949, korban dipihak Belanda
selama Maret 1949 tercatat 200 orang (tewas dan luka-luka)
0 komentar:
Posting Komentar