Senin, 24 Maret 2014

REVIEW BUKU ENSIKLOPEDI PEMILU (Ananlisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009-Agus Riewanto, S.Ag., SH., MA)







REVIEW BUKU
ENSIKLOPEDI PEMILU
(Ananlisis Kritis Instropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda Pemilu 2009-Agus Riewanto, S.Ag., SH., MA)

Disusun untuk memenuhi tugas akhir semester semester mata kuliah Ilmu Politik

Oleh
Muchammad Imam Junaidi
3101410096



JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2013

Bagian Pertama: Parpol, Pemilu, & Problem Kerterwakilan
1.      Polemik Electoral Thresold Pemilu 2004
Pemilu 1999 yang lalu adalah contoh konkret penetapan system multi partai, yang sedikit mengganggu legitimasi parlemen dan pemerintahan presidensiil. Dengan banyaknya parpol yang mngikuti pemilu berdampak pada timbulnya kebingungan dikalangan masyarakat. Untuk mengantisipasi kemungkinan muncul kebingungan rakyat atas banyaknya parpol yang ikut pemilu,  akhirnya pemerintah melalui Mentri Dalam Negeri agar melaksanakan konsep electoral threshold (batas ambang) yang berlaku pada pemilu 1999, yaitu batas minimal perolehan suara bagi setiap partai politik di parlemen.
            Hal ini telah tertuang dalam RUU Pemilu, Pasal 39 ayat (3) UU 3/1999 direvisi menjadi “Parpol peserta pemilu berikutnya adalah Parpol yang memperoleh sekurang-kurangnya 3 persen dari jumlah kursi DPR, atau 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar di setengah jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.”
UU Pemilu ini yang mendapat banyak penolakan parpol-parpol kecil (gurem) yang secara tidak langsung mempersulit mereka dalam pentas pemilu di Indonesia yang akhirnya menimbulkan banyak polemik.
2.      Perlunya Pembatasan Parpol Peserta Pemilu
            Menurut UU No. 31 tahun 2002 tentang parpol dan UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu, tidak terdapat klausul yang menyatakan secara langsung tentang perlunya pembatasan parpol peserta pemilu. Akan tetapi melihat tahapan dan mekanisme yang harus dilalui oleh parpol pesrta pemilu 2004 yang amat ketat dan rumit, maka dapat dipahami secara tersurat ini adalah pola pembatasan.
            Alasan mengapa perlu adanya pembatasan parpol peserta pemilu :
1.      Pemilu adalah artikulasi politik masyarakat, oleh karena itu harus ada keseriusan dari aktivis politik maupun parpol dalam keikutsertaannya dalam pemilu
2.      Pemilu diselenggarakan dengan menggunakan dana yang tidak sedikit
3.      Pemilu diselenggarakan untuk menjadi media bagi kontrak social antara rakyat dan pemimpin politik
4.      Pemilu adalah cermin bagi tegaknya demokrasi dan hukum
3.      Titik Rawan Verifikasi Parpol Pesrta Pemilu
            Dalam proses verifikasi yang dibilang panjang dan cukup rumit, ada beberapa titik rawan yang perlu diwaspadai  dalam proses verifikasi factual tersebut : Pertama, adanya kemungkinan permainan uang (money politics) atau suap dari parpol calon peserta pemilu kepada KPU. Kedua, kemungkinan pemanfaatan situasi oleh pihak ketiga khususnya kepada parpol calon peserta pemilu. Ketiga, adanya kemungkinan kecurangan yang dilakukan parpol kepada masyarakat dengan cara-cara tertentu untuk memenuhi persyaratan jumalah dukungan Kartu Tanda Anggota (KTA) 1000 (seribu) orang atau 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk. Keempat, potensial adanya gugatan hukum atau demonstrasi besar-besaran kepada KPU daerah maupun KPU pusat, bila parpolnya dinyatakan gagal menjadi peserta pemilu 2004 pasca 2 Desember 2004 mendatang.
4.      Ada Upaya Gagalkan Pemilu 2004
            Banyak pengamat sosial politik dan hukum yang berani menyimpulkan secara terang-terangan, bahwa pemilu 2004 nyaris gagal. Adapun aneka alasan yang dijadikan barometer untuk menyimpulkan pemilu terancam gagal, adalah sebagai berikut:
            Pertama, soal logistik pemilu, dimana hingga masa tig minggu terakhir menjelang pelaksanaan pemilu, logistik yang diperlukan untuk memfasilitasi pelaksanaan pemilu 2004 belum memperoleh kejelasan akan kesigapannya, baik dari sisi jumlah maupun pendistribusian.
            Kedua, belum tersedianya dana pemilu yang memadai. Dalam hal ini yang amat merasakan pukulan adalah KPU-KPU Daerah, terutama Kabupaten/Kota. Sebagaimana digariskan dalam pola kerja KPU, maka dana pemilu diperoleh dari dua sumber, yaitu APBN dan APBD.
            Ketiga, adanya gerakan-gerakan kotor untuk menggagalkan pemilu yang diduga dari parpol-parpol dan orang-orang yang kecewa dengan kinerja KPU.
            Keempat, adanya gerakan skenario menggagalkan pemilu secara sistemis :
1)      Upaya untuk mengkampanyekan golput
2)      Gerakan cara-cara mencoblos yang salah
5.      Caleg, Akademisi dan Kekuasaan
            Setidaknya kira-kira ada tiga alasan yang mendasari mengapa para akademisi ini tertarik masuk ke ranah politik praktis.
            Pertama, terbuai oleh manis dan lezatnya “gizi” kekuasaan. Mungkin para akademisi ini merasa dunia akademik (kampu) lama kelamaan membosankan dan monoton. Karena medan perjuangannya hanya berada dalam ranah pemikir bijak yang tidak berpijak ke bumi, seolah bak bertapa di atas angin dan di menara gading.
            Kedua, fenomena lemahnyan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki partai. Mungkin karena pola pengkaderan yang lamban dan tidak meritokratis.
            Ketiga, adanya sikap ovonturir di kalangan akademisi ini. Mereka hanya ingin merasakan alias coba-coba melakukan lompatan gaya hidup, karena melihat rekan-rekan sejawatnya yang telah lebih dulu terjun ke panggung politik praktis pada pemilu 1999.

Bagian Kedua: Ketika Mentalitas Rakyat Dipertanyakan
1.      DPR Kita, Wajah Baru Muka Lama
            Jika dilihat melalu  fakta politik, track record anggota DPR kali ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, komposisi usia dan juga pengalaman. Fakta ini mestinya dapat dijadikan modal untuk mendongkrak citra dan merombak tradisi.
            Namun faktanya ini tidak dapat diejawantahkan dalam kinerjanya. Ada beberapa analisis yang mendasari itu, diantaranya:
            Pertama, masih tertanam kuat kultur politik di Indonesia, bahwa penentu dan kunci dari keberhasilan berpolitik adalah di tangan segelintir pimpinan komisi, badan dan alat kelengkapan DRP RI.
            Kedua, perseteruan memperebutkan kursi pimpinan komisi antara koalisi kebangsaan vs koalisi kerakyatan yag tak berujung, tampak menyiratkan adanya kecurigaan dan dendam politik yang berlebihan pada masing-masing pihak.
            Ketiga, kuatnya dorongan dan godaan syahwat kekuasaan. Hal ini dapat dibaca dari sikap mayoritas koalisi kebangsaan yang menyapu bersih hampir semua pimpinan koalisi pimpinan DPR RI yang berjumlah sepuluh, dan hanya sedikit menyisakan untuk koalisi kerakyatan.
2.      Prospek DPR, DPD, & DPRD Hasil Pemilu 2004
1.      Menyangsikan proses dan kulitas caleg
Melihat proses perekrutan caleg di semua tingkatan (Pusat dan Daerah) dalam pemilu yang lalu, kita dapat mengukur bahwa mereka terpilih bukan tas dasar kualifikasi terbaik diantara yang terbaik, melainkan hanyalah terbaik di antara yang buruk (Best among the worst).
2.      Problem keterwakilan pasca pemilu
Mutu dan legitimasi di semua tingkatan (DPR, DPD, DPRD, Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) mengalami problem. Karena masing-masing berdasarkan sistem pemilu (UU No.12 Tahun 2003), memilik “mutu” (kualitas) legitimasi keterwakilan yang berbeda.
3.      Marginalisasi DPD
Pertama, dalm hal susunan keanggotaan. Kedua, dalam hal peran dan kewenangan DPD. Ketiga, dalam hal kedudukan (eksistensi DPD). Keempat, marginalisasi DPD  juga tampak dalam hal minimnya hak-hak bagi DPD, yang tidak didapat DPD ialah wewenang dibidang pengawasan, misalnya interplasi (bertanya), hak angket (melakukan penyelidikan), dan menyampaikan pendapat. Kelima, dalam hal alat kelengkapan rumah tangga.
4.      Pengkerdilan DPR
Pertama, masih munculnya regulasi kewajiban setiap anggota DPR dan DPRD membentuk wadah fraksi di tubuh legislatif. Kedua, terlampau besarnya peran lembaga pimpinan DPR dan fraksi dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, masih adanya mekanisme recalling anggota DPR yang begitu mudah dilakukan oleh pimpinan partai politik.


Bagian Ketiga: Golput, Realitas Sang Juara
1.      Menyoal Golput Dalam UU Pemilu
a.       Alasan pengaturan Golput
Kelahiran pasal 142 RUU Pemilu tentang pengaturan Golput sangat gegabah, karena publik pastilah menduga secara kasat mata, ada suatu muatan politik yang kuat dan menunjukkan kesan, betapa pengecutnya para elit politik kita dalam berkompetisi secara fair dalam pemilu.
b.      Tolak pengaturan Golput
Sanksi pidana bagi pelarangan sikap Golput dalam RUU Pemilu tidak perlu diadakan, karena persoalan Golput dalam praktek pemilu dimanapun, kapanpun saja, adalh suatu yang alamiah dan suatu kewajaran dalam politik.




Bagian Keempat: Menyambut Sang Fajar (Sejarah Baru Demokrasi Indonesia)
Sisi Negatif Pilpres Secara Langsung
            Adapun sisi negatif diadakannya pemilihan presiden secara langsung diantaranya: pertama, tampilnya tokoh populer tapi tidak berkualitas. Kedua, tidak netralnya aparat dan sistem birokrasi dalam pelayanan masysarakat. Ketiga, sikap disintegratif daerah yang bukan pemilih yang menang. Keempat, potensi lahirnya presiden otoritarian dan sewenang-wenang. Kelima, pilpres langsung akan cenderung dua putaran.

Bagian Kelima: Saatnya Rakyat Bicara (Rekaman Kritis Seputar Pilkada Langsung)
1.      Desk Pilkada & Ancaman Demokrasi
            Desk Pilkada dikatakan mengancam demokrasi dalam pilkada dapat dilihat dalam beberapa analisis berikut:
            Pertama, kewenangan yang diberikan pada pemda sangatlah besar, karena dalam salah satu klausul Kemendagri itu, dinyatakan bahwa pemda lah bertanggungjawab terhadap pelaksanaan Pilkada. Kedua, Desk pilkada ini terlalu luas dan kuat pemberian kewenangan terhadap pemda dalam pelaksanaan pilkada. Keempat, lahirnya Desk ini adalh cerminan dari sikap pemerintah yang memiliki Syndrome Megalomania dalam kajian psikologi politik. Kelima, lahirnya Desk pilkada ini sesungguhnya akan dapat berpotensi melahirkan praktek politik ala Orde Baru.
2.      Empat Syarat Pilkada Demokratis
            Secara sederhana, pilkada akan dapat dikategorikan demokratis jika telah memenuhi  4 prasysrat, diantaranya:
1)      Tersedianya aneka peraturan yang demokratis
2)      Tersedianya struktur dan infrastruktur pilkada
3)      Antusiasme publik yang cukup besar
4)      Adanya jaminan keamanan bagi publik

Bagian Keenam: Demokrasi Kesantunan (Mewujudkan Kampanye Pilkada yang Cerdas dan Sehat)
*      Mencerdaskan Pemilih Dalam Pilkada
            Menurut Chaterine Barner (2001), untuk mencerdaskan pemilih/publik dapat dilakukan dengan pola pemberdayaan melalui tiga tahap, yakni: pertama, voters information. Pendidikan pemilih yang hanya terarah pada informasi teknis pemilu, misalnya tata cara pencoblosanm tempat, tanggal memilih dan syarat-syarat pemilih. Kedua, voters education, yakni pemberdayaan melalui tahapan-tahapan filosofis, sosiologis, psikologis, serta arti penting pemilu dan partisipasi publik dalam sisten demikrasi. Ketiga, civic education, yakni pemberdayaan publik sebagai entitas politik dengan mempertimbangkan hak-hak asasi warga negara dalam suatu sistem demokrasi.

Bagian Ketujuh: Mengharap yang Terbaik (Menyongsong Pemilu 2009)
v  Menggugat Ideologi Partai Politik di Indonesia
            Menurut Clymer Rodee (1983) dan Reo M. Christenson (1975), ideologi politik memiliki bermacam fungsi, antara lain: sebagai basis legitimasi politik, penuntun kebijakan, tingkah laku politik, membangkitkan persatuan massa dan menggerakkan untuk berbuat sesuatu.
            Namun dewasa ini dapat kita lihat fenomena yang terjadi pada penggung politik di Indonesia telah mengalami pemiskinan ideologi yang melanda partai politik dan elite parpol.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.      Pragmatisme berupa politik egoisme yang mementingkan akses ekonomi sesaat dan perebutan pengaruh kekuasaan
2.      Opurtunisme, yakni sikap politik yang terus mencari celah dan kesempatan yang menguntungkan





Judul buku       :ENSIKLOPEDI PEMILU (Analisis Kritis Intropektif Pemilu 2004 Menuju Agenda                  Pemilu 2009
Penulis             : Agust Riewanto, S.Ag, SH, MA.
Penerbit           : LEMBAGA STUDI AGAMA & BUDAYA (el-SAB) dan FAJAR PUSTAKA
Tahun terbit     : 2007
Kota penerbit   : Yogyakarta






0 komentar:

Posting Komentar