Senin, 24 Maret 2014

Peristiwa Malari 1974

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 atau yang biasa disebut peristiwa Malari 1974 tidak akan terlepas dari yang namanya mahasiswa, karena peristiwa kerusuhan yang terjadi pada tanggal 15 dan 16 Januari 1974 di Jakarta itu berawal dengan adanya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa untuk melakukan kritik dan koreksi terhadap pemerintah Orde Baru. Aksi-aksi dan gerakan yang dilakukan mahasiswa itu berkaitan dengan berbagai masalah diantaranya : korupsi, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), strategi pembangunan dan penanaman modal asing.
Drakan mahasiswa sebenarnya tidak hanya terjadi pada tahun-tahun itu saja, namun sebelumnya telah ada gerakan mahasiswa besar yang telah mampu menumbangkan Orde Lama yang dikenal dengan “Angkatan 66”. Alasan mahasiswa melakukan demonstrasi ketkia itu karena pemerintah dianggap telah banyak menghambur-hamburkan anggaran negara dengan melakukan pembangunan Taman Mini ditengah-tengah terjadi kesulitan ekonomi yang dialami Indonesia. Mahasiswa juga menganggap pemerintah telah melakukan tindakan korupsi serta dominasi modal asing tidak menguntungkan rakyat jelata.

2.      Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah ini, memunculkan beberapa versi mengenai peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peristiwa 15 Januari 1974
Pada tahun 1973 keresahan yang terjadi di kampus-kampus semakin meningkat dengan maraknya demonstrasi mahasiswa. Untuk meredakannya Jendral Soemitro yang merupakan Pangkopkamtip berinisiatif untuk mengunjungi kampus-kampus besar yang ada di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Soemitro selalu mengatakan tentang pola “Kepemimpinan baru” yaitu dengan “Komunikasi Dua Arah” kepada mahasiswa. Banyak pihak yang menganggap bahwa kedatangan dan pernyataan Soemitro di kampus-kampus itu merupakan suatu bentuk kampanye untuk dirinya, namun menurut Soemitro sendiri kedatangannya ke kampus-kampus karena permintaan dari presiden Soeharto (Cahyono, 1998: 115).
Suasana panas yang tercipta pada sekitar awal Januari 1974 terjadi karena semakin meningkatnya aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menentang strategi pembangunan, dominasi modal asing terutama Jepang, korupsi, serta pembangunan Taman Mini. Aksi demonstrasi pun semakin menyebar keberbagai daerah. Suasana semakin memanas menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka ke Indonesia.
Pada tanggal 14 Januari 1974 mahasiswa menyambut kedatangan PM Tanaka dengan aksi demonstrasi  di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma. Mereka menentang masuknya modal asing yang didominasi oleh modal Jepang. Selain itu mereka juga mengkritik tingkah laku tercela orang-orang Jepang yang ada di Indonesia.
Pada tanggal 15 Januari mahasiswa berkumpul di kampus UI Salemba dan mengadakan Long March menuju Universitas Tri Sakti yang berada di Grogol. Dalam demonstrasi tersebut mereka meneriakkan tuntutan mereka yaitu yang dikenal dengan Tritura Baru 1974. Demonstrasi itu juga diikuti para pelajar SMA. Sepanjang perjalanan para demonstran menurunkan bendera-bendera penyambutan tamu negara menjadi setengah tiang sebagai tanda duka cita atas kedatangan Tanaka.

  
B.     Berbagai Versi  Tentang Malari 1974
Sejumlah interpretasi mengenai faktor pemicu peristiwa tersebut kemudian muncul. Faktor-faktor tersebut pada dasarnya saling berkaitan satu dengan yang lain. Versi pertama hanya memandang peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa Indonesia menentang penetrasi dan dominasi modal asing yang berlebihan terutama Jepang. Veri kedua memandang terjadinya peristiwa Malari sebagai bentuk ketidaksukaan kaum intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Soeharto, terutama Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani yang memiliki kekuasaan terlalu besar. Dan versi terakhir diduga karena adanya persaingan elit militer antara Brigjen Ali Murtopo dan Jenderal Soemitro.
Versi pertama menyebut Malari  hanya sebatas upaya sekelompok mahasiswa untuk menolak dominasi bangsa asing (terutama Jepang) dalam perekonomian Indonesia. Diantara tokoh mahasiawa yang terkenal adalah seorang aktivis yang juga Ketua DMUI, Hariman Siregar. Dengan Malari, mahasiwa Indonesia seakan mengingatkan Soeharto tentang lonceng kematian industri lokal seandainya produk dan modal asing dibiarkan melenggang di pasar Indonesia. Kepala Opsus, Ali Murtopo kemudian menuding Soemitro menunggangi protes mahasiswa untuk merebut kekuasaan dengan jalan menginflitrasi dan memprovokasi mahasiswa untuk melakukan tindak kekerasan.Yang kemudian masih menjadi teka-teki adalah kenapa harus investasi Jepang yang menjadi sasaran kritik mahasiswa, bukan investasi Amerika, Inggris atau Belanda. Padahal dari segi kuantitas, investasi negara lain seperti Amerika Serikat misalnya, pada saat itu jauh melebihi Jepang. Alasanya barangkali karena bentuk investasi Jepang lebih kasat mata dan menarik perhatian. Sebagai contoh, Jepang lebih memilih investasi dalam industri perakitan mobil dan pembangunan hotel-hotel mewah di Jakarta, sedangkan Amerika lebih memilih aktivitas pengeboran minyak di lepas pantai dan penambangan emas di hutan-hutan Papua, jauh dari pusat kota.
Mengenai versi kedua berhubungan dengan bentrokan antara kelompok Ali Murtopo dengan kelompok teknokrat ekonomi. Bermula dari upaya Ali Murtopo dalam mencetuskan konsep “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun”. Konsep ini kemudian diterima Soeharto sebagai kebijakan jangka panjang pemerintah. Ali Murtopo kecewa karena yang terpilih sebagai pelaksana dari konsep pembangunan tersebut adalah Widjojo Nitisastro cs. Dalam pandangan Soeharto, kelompok Widjojo lebih dipercaya karena yang dianggapnya memiliki reputasi yang jelas dalam hal pembuatan kebijakan ekonomi. Akan tetapi, dalam sebuah biografi Jenderal Soemitro sebagaimana dituturkan kepada Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74,  Widjojo mengatakan bahwa dirinya tidak memperhatikan dan terpengaruh oleh adanya konsep akselerasi modernisasi dari Ali Murtopo. Rencana pembangunan yang dibagi bagi kedalam Repelita dan rencana anggaran tahunan (APBN) murni seratus persen dikerjakan oleh dirinya dan beberapa ekonom di kelompoknya. Sikap Soeharto sendiri yang mendua terhadap konsep pembangunan ekonomi pada akhirnya menyulut divergensi dan gesekan yang kontinyu antara kelompok teknokrat ekonomi pimpinan Widjojo dengan kelompok Ali Murtopo dengan lembaga CSIS-nya. Gesekan kepentingan antara dua kubu itu ternyata terus meruncing dan semakin terdengar keras gaungnya. Jenderal Soemitro dalam hal ini bertindak melindungi kelompok teknokrat dengan alasan agar kelompok ekonom tersebut dapat menyusun dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi dengan baik. Atas tindakannya ini, Jenderal Soemitro menjadi sasaran tembak Ali Murtopo.
Versi lain yang cukup dominan mengenai penyebab kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan rivalitas elit militer yang berada di sekeliling Presiden Soeharto, yakni Jenderal Soemitro (waktu itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin, Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi khusus). Jenderal Soemitro menyebut Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani dengan sebutan free wheelers, yaitu orang yang langsung dikendalikan sang pemimpin dan mempunyai akses ke mana-mana. Mereka tidak memiliki organisasi, tetapi memiliki mandat penuh dari pimpinan dan bisa berhubungan dengan siapa saja atas nama pimpinan. Rivalitas antara Jenderal Sumitro dan Ali Murtopo dan sering diidentikkan dengan konflik antar beberapa lembaga ekstra konstitusional di lingkaran kekuasaan Soeharto, yaitu Aspri-Opsus versus Kopkamtib-Bakin. Selain sikap Soemitro yang terkesan melindungi kelompok Widjojo, adanya rivalitas ini sebenarnya juga terkait erat dengan ambisi Ali Murtopo untuk menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan (baca: presiden). Mereka saling menuduh satu sama lain mengenai keinginan dan ambisi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia. Pada masa-masa itu, persaingan antara Soemitro dan Ali Murtopo merupakan salah satu sumber gosip politik yang mengasyikkan dan sekaligus memprihatinkan. Menurut pengamat militer Indonesia, Salim Said, Peristiwa Malari bukan saja merupakan huru-hara anti-Jepang yang menyebabkan  kerusakan hebat dan korban jiwa, tetapi juga bisa dilihat sebagai konflik internal militer yang terlemparkan ke permukaan.
Adapun korban dari peristiwa pada selasa 15 Januari 1974, paling kurang 11 orang meninggal, 300 luka berat dan ringan, serta 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sedikitnya 160 kg emas hilang dari sejumlah tokoh perhiasan.


BAB III
Simpulan
Versi pertama, Malari  hanya sebatas upaya sekelompok mahasiswa untuk menolak dominasi bangsa asing (terutama Jepang) dalam perekonomian Indonesia. Versi kedua, bentrokan antara kelompok Ali Murtopo dengan kelompok teknokrat ekonomi. mengenai penyebab kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan rivalitas elit militer yang berada di sekeliling Presiden Soeharto, yakni Jenderal Soemitro (waktu itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin, Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi khusus). Versi lain, mengenai penyebab kerusuhan Malari adalah adanya friksi dan rivalitas elit militer yang berada di sekeliling Presiden Soeharto, yakni Jenderal Soemitro (waktu itu menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Pangkopkamtib/merangkap Wakil Pangab) dan Brigjen Ali Murtopo (Deputi Kabakin, Asisten pribadi Presiden, Komandan Operasi khusus).



Daftar Pustaka
Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa. Jakarta:  Kompas Media Nusantara
Adam, Asvi Warman. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta:  Serambi

Sumber Lain

Wikipedia.com

0 komentar:

Posting Komentar